Pages

Kamis, 13 Juni 2013

Voetbal, Volksraad, dan Hari Sepakbola Hindia Belanda

Klub sepakbola dijadikan alat kampanye politik itu bukan barang baru. Jauh sebelum era Indonesian Super League, yang meliberalisasi praktik politisasi sepakbola, sepakbola sudah lazim menjadi alat kampanye.

Untuk menengok perulangan sejarah itu, kita bisa menengok kembali ke masa yang jauh, pada 1917, nyaris 100 tahun sebelum Alex Noerdin meng-Golkar-kan stadion Jakabaring di Palembang dengan serentetan gambar dirinya yang terpampang sejak dari tiket sampai papan iklan di pinggir lapangan.

Di suratkabar De Sumatra Post edisi 15 November 1917, saya menemukan sepucuk berita berjudul "Deli, de Volksraad en de Voetbal" (Deli, Dewan Perwakilan Rakyat dan Sepakbola). Kendati eksemplar De Sumatra Post yang saya temukan itu sudah buram dan di sana-sini tak terbaca, khusus berita berjudul "Deli, de Volksraad en de Voetbal" itu masih relatif jelas terbaca.

Dan di situ saya menemukan bagaimana sebuah klub sepakbola menawarkan dirinya menjadi bagian dari kampanye pemilihan anggota Volksraad. Nama klub itu adalah "Boeih Merdeka". Beberapa kandidat anggota Volksraad yang disebut dalam berita itu adalah Mr. Baradja, T. Moesa dan Dr. Abdul Rasjid. Nama yang terakhir itu akhirnya berhasil menjadi anggota Volksraad mewakili Sumatera Utara dan karier politiknya terus bertahan sampai kedatangan Jepang.

Sebenarnya tidak mengherankan jika Abdul Rasjid memanfaatkan sepakbola sebagai bagian penting kampanyenya. Saat masih bersekolah di STOVIA (sekolah kedokteran di masa kolonial), dia aktif bermain sepakbola bersama rekan-rekan di sekolahnya. Tak hanya main bola, dia juga menjadi pengurus klub sepakbola STOVIA. Seperti yang sudah ditulis dalam artikel Genealogi Sepakbola Indonesia bagian 5, STOVIA adalah klub yang diperkuat para pemain bumiputera pertama yang ikut kompetisi pertama yang pernah digelar di Jawa pada 1904.

Di suratkabar Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie edisi 30 Agustus 1907, ada berita mengenai struktur kepengurusan klub sepakbola STOVIA. Dalam berita itu terlihat Abdul Rasjid menjadi Commissarissen van Materiaal (yang mengurus segala alat-alat dan perlengkapan). Selain Abdul Rasjid, nama lain yang menjadi Commissarissen van Material di klub STOVIA adalah Sam Ratulangi, orang Minahasa yang kelak menjadi tokoh penting dalam sejarah Indonesia.

Di Volksraad, Abdul Rasjid dikenal sebagai anggota Fraksi Nasional yang gigih mengkampanyekan penggunaan bahasa Indonesia dalam sidang-sidang di Volksraad. Pada periode 1938-1939, ada 7 anggota Volksraad yang menggunakan bahasa Indonesia yaitu Soangkupon, Suroso, Wirjopranoto, Jahja Datoek Kajo, Abdul Rasjid, MH Thamrin, dan Otto Iskandar Dinata [lihat buku Jahja Datoek Kajo: Pidato Otokritik di Volksraad 1927-1929, hal. 35].

Dan tahukah Anda, 2 nama terakhir setelah Abdul Rasjid yang saya sebutkan di atas (MH Thamrin dan Otto Iskandar Dinata) adalah para politisi yang sangat aktif mengurusi sepakbola, bahkan jauh lebih aktif daripada Abdul Rasjid.

MH Thamrin tak mungkin dipisahkan dari VIJ (cikal bakal Persija kelak). Dia bukan hanya secara rutin menonton pertandingan VIJ, tapi juga mengurusi banyak hal yang menjadi keperluan Persija, tak terkecuali lapangan sepakbola.

Disebut-sebut, Thamrin merogoh koceknya sendiri untuk menyediakan lapangan bagi VIJ di daerah Petojo pada 1932 (penelusuran saya menyebutkan lapangan VIJ itu bukan 1932, tapi 1936. Lihat surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad edisi 16 Maret 1936).

Kesukaan Thamrin pada sepakbola pula yang membuatnya peduli dengan "kericuhan" menyusul tindakan rasis panitia kompetisi sepakboola NIVB di Surabaya yang pada 1932 melarang wartawan bukan kulit putih datang meliput. Larangan itu memicu gelombang protes, terutama dari surat kabar Sin Tit Po yang menyerukan boikot. Liem Koen Hian, hoodredacture/pemred Sin Tit Po, ditangkap atas dugaan memprovokasi kericuhan. Thamrin datang menyelidiki persoalan ini, terutama untuk memastikan agar Liem Koen Hian tidak diperlakukan semena-mena. Thamrin sampai mengajukan beberapa pertanyaan tertulis kepada aparat kepolisian saat itu.

Thamrin pula yang memimpin kesebelasan bentukan PSSI saat berkunjung ke Jepang pada 1939 --kunjungan yang sedikit banyak menjadi jawaban atas "kegagalan" PSSI terlibat dalam pengiriman tim Hindia Belanda ke Piala Dunia 1938 di Paris. Saat itu, Thamrin memimpin delegasi yang terdiri para siswa, dokter, dan beberapa kalangan lainnya. Ini adalah bagian dari kecenderungan politik Thamrin (dan beberapa aktivis pergerakan lainnya) yang mulai terkagum-kagum dengan Jepang (lihat Soerabaiash-Handelsblad edisi 1 Agustus 1936).

Jika Thamrin adalah politisi Betawi yang sangat peduli dengan VIJ, maka di tanah Parahyangan muncul Otto Iskandar Dinata. Sosok yang nama julukannya, Si Jalak Harupat, itu diabadikan menjadi stadion sepakbola di Soreang ini sangat peduli dengan Persib Bandung (berbeda dengan Persija yang bertahun-tahun lamanya masih menggunakan nama VIJ, sejak berdiri Persib sudah menggunakan nama Persib).

Banyak sekali laman atau artikel di internet yang menyebut-nyebut namanya sebagai Ketua Umum Persib Bandung. Itu sebenarnya keliru. Otto memang tak pernah melepaskan kepeduliannya pada Persib, tapi sesungguhnya dia tak pernah jadi Ketum Persib. Dia hanya pernah jadi Ketua Panitia Kongres PSSI di Bandung pada 1936 (lihat buku "Otto Iskandar Dinata: the Untold Stories" karya Iip D. Yahya).

Dia selalu terlibat dalam setiap acara yang melibatkan Persib, termasuk menjadi salah seorang offisial tim saat Persib untuk pertama kalinya menjadi juara Kejurnas PSSI pada 1937 di Solo. Surat kabar berbahasa Sunda yang dipimpinnya, Sipatahoenan, tak ubahnya seperti Pikiran Rakyat di masa pasca kemerdekaan: menjadi corong utama pemberitaan Persib Bandung.

Sebagai seorang aktivis pergerakan dan anggota Volksraad, Otto tak pernah melupakan latar belakangnya sebagai wartawan. Jika Sipatahoenan banyak memberitakan Persib, maka Otto juga menerbitkan majalah Olahraga yang sempat menjadi majalah resmi PSSI. Semua propaganda sepakbola PSSI pada dekade pertama kehadiran PSSI selalu melibatkan Otto melalui majalah Olahraga yang dipimpinnya.

Kecintaan dan kegemaran Thamrin dan Otto akan sepakbola sudah termasyhur di masa itu. Sampai-sampai, pada 16 Mei 1932, digelar pertandingan persahabatan dengan Thamrin dan Otto berada di dua kubu yang berseberangan. Pertandingan yang hanya berlangsung selama 1 babak itu berakhir 0-0.

Kesebelasan Thamrin saat itu diperkuat nama-nama seperti Dachlan Abdollah, L. Djajadiningrat, Dr. Kajadoe, Mokoginta, sampai Brata Moehjiddin. Sementara kesebelasan yang diperkuat Otto dipenuhi nama-nama yang lebih tenar seperti Dr. Boentaran Saragih, Parada Harahap, Soetardjo sampai Mr. Koesoema Atmadja.

Jika kini Persija (nama baru dari VIJ) dikenal juga karena perseteruannya dengan Persib, setidaknya catatan itu sudah dimulai sejak kesebelasan Thamrin bertandingan melawan kesebelasan Otto Iskandar Dinata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar